MEMBANGUN BANTAENG: ABAI KEBUDAYAAN?
Mukhaer Pakkanna
Impresif dan spektakuler? Itulah yang
tertangkap tatkala kita memulai melangkah masuk gerbang perbatasan kabupaten
Bantaeng dari arah kabupaten Jeneponto. Mengapa impresif? Karena kita dijejali
pengunungan yang berlekuk indah, disapa semilir angin, dan dikawal bantaran
tepi pantai hingga menyusuri ibukota Boetta Toa ini. Jika kita bergerak dari ibukota Bantaeng
menuju ke arah utara, kita seolah dipayungi pengunungan Lompobattang, yang
dijadikan Pemda sebagai sentra produksi hortikultura.
Dengan udara yang nan sejuk damai, sepanjang pengunungan, terutama tatkala kian
mendekat dengan gunung Loka, terpapar produksi kentang, wortel, strobery, apel, buah naga, jeruk keprok, sawo,
dan lain-lain. Bahkan, telah bertebaran kebanggaan komparatif, berupa
pengembangan kultur jaringan, varietas padi unggul, dan jagung. Di sudut yang
lain, di bidang perikanan dan kelautan, dikembangkan ikan nila hasil budidaya
cekdam, Balang Sikuyu.
Mengapa
spektakuler? Karena sepanjang kita menyusuri pantai selatan hingga perbatasan kabupaten
Bulukumba, telah disulap kawasan industri Bantaeng. Bantaran pantai hingga
obyek wisata pantai Marina yang nan eksoktik,
sedang dibangun industri-industri
layanan dasar. Tercatat, ada 6 (enam) investor merencanakan membangun smelter
atau pabrik pengolahan bijih nikel dan bijih besi. Investasinya tidak
tanggung-tanggung, ditaksir Rp20 triliun.
Melalui MoU (Memoradum of Understanding) yang telah ditandatangani antara Badan
Keuangan Amerika-Eropa, tersiar berita, Bantaeng akan diguyur “hujan” dana investasi
sekitar Rp 1 triliun untuk membangun dan mengembangkan Pelabuhan Laut. Ada
rencana investasi Rp 29 triliun untuk membangun kilang pengolahan minyak,
bensin dan avtur. Bahkan, untuk menopang pembangunan industri tersebut, sudah
siap dibangun pembangkit listrik berkekuatan 600 Mega Watt.
Yang teranyar, juga diberitakan
tambahan calon investor smelter dari PT Macrolink Nickel Development (MND). Melalui Direktur MND,
Feng Tao, MND bakal menanamkan investasi sekitar US$200 juta untuk pembangunan
smelter. Perusahaan tambang asal China ini optimis mampu mengabsorpsi sekitar
300 orang tenaga kerja lokal. Sekadar catatan, di China, Macrolink (MND)
tercatat dalam 500 perusahaan terbesar, yang bergerak di bidang pertambangan
dan properti.
Buah yang Menakjubkan
Memang
spektakuler, gebrakan yang dilakukan Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, pada
periode pertama kepemimpinanya. Dengan visi konkret; “Menjadikan Bantaeng
sebagai Wilayah Terkemuka Berbasis Desa Mandiri”. Selain membangun sentra
produksi hortikulura, kawasan industri, dan kawasan wisata, tidak boleh
dilupakan pula, membangun dan menyebarkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) diseluruh
perdesaan, yang awalnya diharapkan mampu menyerap produksi hasil pertanian dan
perikanan rakyat, dengan dukungan penyediaan fasilitas sistem Resi Gudang.
Yang tidak
kalah menakjubkan, Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) pada Oktober
2012, telah melepas “gelar” kabupaten Bantaeng sebagai Daerah Tertinggal. Tidak
mengherankan, jika pada tahun 2012, menurut catatan BPS (2012), penduduk miskin
Bantaeng telah tertekan menjadi 5,8 persen, padahal pada 2008 tercatat 12,12
persen dari total penduduk. Demikian juga, angka pengangguran pada tahun yang
sama tertekan menjadi 3,75 persen yang sebelumnya 12,09 persen.
Namun sangat
disayangkan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada 2012 masih berada dalam kisaran
Rp25,28 milyar, sebuah angka yang sangat minimalis di tengah obsesi
Bupati yang sangat agresif. Yang jelas, secara agregatif, pertumbuhan ekonomi
tampil impresif di atas rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi regional dan
nasional, yang berada di kisaran 9 persen.
Galibnya, di
tengah pertumbuhan ekonomi yang terdongkrak tinggi, acapkali diiringi angka
Gini Rasio yang menganga lebar, yang mengindikasikan angka kesenjangan antara
si miskin dan si kaya makin jauh. Apalagi jika daerah itu di-drive oleh kebijakan elitis dan
eksklusif di antara segelintir eksekutif dan pemiliki kuasa modal.
Beranjak
dari hasil itu, periode kedua kepemimpinan Nurdin Abdullah (2013-2018), memformulasikan
visi baru, yakni: “Menjadi
Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Bagian Selatan Sulawesi Selatan”. Obsesi
agresifnya, Nurdin mencanangkan
program the New Bantaeng atau kota
Water Front City dengan menetapkan
pendekatan tiga kluster penanganan dan pengembangan sesuai karakteristik dan
potensi daerah yang tiga dimensi (spectrum)
— pegunungan, dataran, dan pantai, yang tentu untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat. Pendekatan ini mengingatkan kita pada konsep mantan
Gubernur Sulawesi Selatan, Ahmad Amiruddin, yang mengintrodusir konsep
“pengwilayahan komoditas” pada era 1980-an, sebuah konsep yang lengket dengan
konsep Richardian (David Richardo), salah satu dedengkot ekonomi neo-klasikal.
Lebih jauh dari itu, pengembangan
potensi akan dilakukan dengan diiringi upaya besar-besaran membangun
infrastruktur jalanan. Dari titik 0 (nol) di dataran rendah, jaringan jalan
sudah mencapai wilayah-wilayah pegunungan diketinggian 1.300 dpl dengan kondisi
beraspal hotmix. Sejumlah fasilitas berkaitan dengan pengembangan infrastruktur
industri, pariwisata, pelayanan kesehatan, dan pendidikan serta pelayanan dasar
lainnya sudah dieksiskan.
Bagaimana dengan
Kebudayaan?
Dengan pembangunan yang
diinisiasi bupati Nurdin Abdullah selama lebih satu periode ini, dan telah
tampil impresif dan spektakuler (2008-2013), apakah hasil yang dibangun
merupakan proses kebudayaan? Ataukah, apa pembangunan yang ia lakukan, abai
terhadap kebudayaan? Inilah yang perlu kita telaah!
Maka, kebudayaan tidak sekadar seni. Tapi, secara
per definisi, kebudayaan berkait dengan bentuk jamak dari buddhi , yakni hal-hal yang berkaitan dengan
budi dan akal manusia.Common sense kita,
kebudayaan adalah, hasil karya manusia dalam usahanya
mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf
kesejahteraan dengan segala limitasi jasmaninya serta sumber-sumber alam
yang ada disekitarnya.
Menurut
Geertz (1973), kebudayaan sebagai pengejawantahan
respon manusia terhadap tantangan-tantangan yang
dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Konkretnya,
kebudayaan berkait agregasi pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakannya untuk memahami dan menafsir lingkungan dan
pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong
terwujudnya kelakuan (perilaku). Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai "mekanisme kontrol" bagi kelakuan
dan tindakan-tindakan manusia.
Lebih
jauh, Koentjaraningrat(1984),
kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini
akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti
perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem
penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak,
sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena
kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai
moral tersebut, pada pandangan hidup dan pada etos atau
sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia.
Dengan
demikian, pembangunan terutama pembangunan ekonomi haruslah appreciated dengan nilai-nilai budaya,
karena ia adalah bagian integral dari proses kebudayaan. Yang menjadi masalah,
apakah pembangunan yang impresif dan spektakuler itu, merupakan manifestasi
kebudayaan? Tentu, jawabannya “bisa iya dan bisa tidak”, bergantung sejauhmana
akal dan budi berinteraksi sinergis, tanpa saling menegasikan.
Namun,
harap diingat, kebudayaan merupakan kerja kolektif, selayaknya pembangunan
merupakan inisiasi kolektif, bukan inisiasi personal. Kendati gagasan dan
inisiasiasi itu kerap muncul secara personal, tapi bagaimana personalitas itu
mampu mempersonifikasi diri dalam menularkan gerakan itu secara kolektif, dan
tidak merupakan gerakan eksklusif di tingkat pejabat ataukah hanya gerakan
eksklusif di tingkat pemilik modal (investor). Karena itu, publik harus
tercerahkan dalam memahami proses pembangunan dan jangan sama sekali
mengidentifikasi bahwa publik (baca: rakyat) itu adalah massa yang diam, mereka
adalah massa yang mengontrol. Sehingga dengan ketercerahan itu, publik selain
ikut memahami proses awal pembangunan, mereka juga harus mampu melakukan
“mekanisme kontrol” bagi hasil dari
tindakan pembangunan.
Banyak
bukti yang menunjukkan, pembangunan fisik kerap abai terhadap pembangunan
kebudayaan, bahkan abai terhadap perspektif kemanusiaan. Demi obsesi segelintir
atau eksklusifitas orang per orang, maka kerapkali derap pembangunan melangkah
maju dalam rangka mencapai target, sehingga target-target indikatif pun menjadi
“tuhan-tuhan baru”.
Yang
lebih parah adalah, jika kebudayaan hanya sekadar proseduralitas dalam
pembangunan. Kerapkali, demi asas partisipatif, alih-alih perencanaan
pembangunan melibatkan publik atau representasi publik, tapi yang dilakukan
adalah musyawarah perencanaan yang tanpa roh, karena “rohnya” telah diinisiasi
oleh segelintir orang tertentu. Musyawarah perencanaan pembangunan misalnya,
seolah hanya menjustifikasi inisiasi dan gagasan dari orang-orang itu. Maka,
kalau tindakan ini dilakukan dan dieksekusi di dataran perencanaan, maka itu
bukan tindakan kebudayaan, tapi merupakan tindakan manipulasi kebudayaan demi
akselerasi pencapaian target yang diinginkan. Di situlah “tuhan-tuhan target”
bermunculan.
Selanjutnya,
jikalau ini tidak disadari dan berjalan terus, serta telah menyusup dalam otak
kepala manusia atau penduduk secara kolektif, yakinlah, akan membuahkan gerakan
masyarakat yang semakin pragmatis dan materialistik, karena indikator
kemajuannya hanyalah indikator target dan fisik.
Maka,
tatkala secara kolektif kita makin takjub terhadap hasil pembangunan, semisal
menyeruaknya kawasan-kawasan industry, sudah dianggap lumrah atau tidak ada
masalah, ketika itu pula “gong kematian” idealisme bermasyarakat telah tiba.
Yakinlah, yang akan berkembang adalah perilaku hidup yang makin
individualistik, pragmatis, dan materialistik. Nilai-nilai kebersamaan dan
gotong royong makin redup, dan pada gilirannya gejala de-humanisasi makin
menguat, yang ditandai gaya hidup instan dan mau enaknya saja.
Dalam
konteks inilah, di tengah agresifnya Pemda Bantaeng– atau orang-orang tertentu
dalam meraih “tuhan-tuhan target” – diperlukan oase kebudayaan untuk memberikan efek kontrol dalam mengerem
nafsu-nafsu agresif itu. Nafsu-nafsu
agresif itu kerap sulit dikendalikan, karena sudah menjadi mainstream kebijakan pembangunan secara umum. Indikator-indikator
peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningakatan PDRB, pembangunan fisik
kota, dan lainnya telah dikompetisikan
sehingga keberhasilan pembangunan suatu daerah/kota dianggap ditentukan oleh
kemajuan-kemajuan indikatif di atas.
Karena
itulah, komunitas kebudayaan yang tergabung kelompok literasi Boetta-Ilmu di
Boetta Toa, seyogianya menjadi oase yang
diharapkan membenahi satu persoalan kebudayaan itu. Boetta-Ilmu harus terus
menampilkan karya-karya kontrol atau dalam bahasa Geertz (1973), menghidupkan
“mekanisme kontrol” terhadap sepak terjang pembangunan yang tengah mengarah
proses de-humanisasi.
Bahkan, jika memang pembangunan Bantaeng ke depan tidak
sekadar bersandar pada “kehebatan” bupati Nurdin Abdullah, dan tetap ingin
pembangunan yang agresif ini dipertahankan atau lebih dikembangkan, maka landasan pembangunan kebudayaan harus
dikembangkan sebagai mekanisme kontrol. Pembangunan, tidak sekadar proseduralitas oleh segelintir
orang. Karena itu, pembangunan Bantaeng jangan sampai menjadi artefak-artefak
fisik, yang akan dikenang oleh anak cucu kita ke depan, bahwa Bantaeng pernah
memililki kawasan industri terhebat. Artefak-artefak nostalgis seperti itu bisa
jadi terwujud, kalau kita hanya mengandalkan sosok personafikasi bupati ternama,
yang tentunya tidak akan ajek. Ada ruang dan waktu yang akan menutupnya. Karena
itu, kita perlu memikirkan keberlanjutan pembangunan Bantaeng demi anak-cucu
kita kelak. Wallahu ‘alam.
0 komentar:
Posting Komentar