SELAMAT DATANG DI KERUKUNAN KELUARGA BANTAENG - JAKARTA

Alamat : Jl. Rawa Sari 1 Jakarta Pusat - Indonesia, Phone (021). Email : kkb_jakarta.net

PORTAL KKB PORTAL SSB SIRAMAN ROHANI

Alamat - Kontak

Alamat

Jl.Rawa Sari No.1 Jakarta Pusat - Indonesia.

Klik

Telepon

Phone : (021) Jakarta Pusat - Indonesia.

Klik

Faxmile

Faxmile : (021) Jakarta Pusat - Indonesia.

Klik

Email

Kontak Email : kkbjakarta.net Email Pemkab Bantaeng ( pemda@bantaengkab.go.id ).

Klik

Rilis Berita

KKB Komisariat Jakarta Bantu Korban Kebakaran Maricaya

KKB Komisariat Jakarta Bantu Korban Kebakaran Maricaya

Bantaeng (31/1). Kerukunan Keluarga Bantaeng Komisariat Jakarta, yang baru saja dibentuk di Jakarta beberapa waktu lalu, kini bantu Korban kebakaran  di Maricaya Kelurahan Letta, Minggu (31/1).

Pada kesempatan distribusi bantuan bagi korban kebakaran di Maricaya tersebut H. Benny Nurdin Yusuf selaku ketua bidang hubungan organisasi KKB Jakarta menuturkan bajwa bantuan berupa uang 15 Juta dan  pakaian layak pakai ini, sebagai wujud kepedulian kami selaku warga Bantaeng di Jakarta atas musibah yg diderita oleh saudara saudara kita di Maricayyya.

Tambah H. Benny Nurdin Yusuf yang juga menjabat sebagai Kasubbag perundang undangan di Kementerian Perhubungan RI mengemukakan bahwa harapan dari agenda sosial ini, semoga dana tersebut bisa menjadi dana awal dalam rekening bank bantuan kebakaran yang nantinya, nomor rekening tersebut akan di share ke seluruh warga Bantaeng sehingga bisa membantu pihak pihak yang menjadi korban.

Tampak yang hadir pada distribusi bantuan dari KKB Komisariat Jakarta ini, antara lain Kepala BPBD Mislimin Maharang, Kadis Sosnakertrans Bantaeng Syahrul Bayab, Anggota DPRD Alim Bahri L. Tana, mantan anggota DPRD Thamrin Labandu, Lurah Letta H. Bakri, Operator PKH Bantaeng M. Sabir dan kehadiran tokoh masyarakat H. Bunyamin Yusuf yang biasa di sapa H. Gonni.

Syahrul Bayan selaku Kadis Sosnakertrans Bantaeng ini menyambut baik kegiatan sosial ini, karena kehadiran KKB Jakarta ini juga  akan menjadi spirit membangun dari warga Maricaya yang mendapatkan musibah.

Dirilis oleh H. Benny Nurdin Yusuf dari Bantaeng.









PENERAPAN TEKNOLOGI E-VOTING BPPT PADA PILKADA DAN PILKADES BANTAENG

PENERAPAN TEKNOLOGI E-VOTING BPPT PADA PILKADA DAN PILKADES BANTAENG




PENERAPAN TEKNOLOGI E-VOTING BPPT PADA PILKADA DAN PILKADES BANTAENG
















MEMBANGUN BANTAENG: ABAI KEBUDAYAAN?

MEMBANGUN BANTAENG: ABAI KEBUDAYAAN?

MEMBANGUN BANTAENG: ABAI KEBUDAYAAN?

Mukhaer Pakkanna
           
Impresif dan spektakuler? Itulah yang tertangkap tatkala kita memulai melangkah masuk gerbang perbatasan kabupaten Bantaeng dari arah kabupaten Jeneponto. Mengapa impresif? Karena kita dijejali pengunungan yang berlekuk indah, disapa semilir angin, dan dikawal bantaran tepi pantai hingga menyusuri ibukota Boetta Toa ini.  Jika kita bergerak dari ibukota Bantaeng menuju ke arah utara, kita seolah dipayungi pengunungan Lompobattang, yang dijadikan Pemda sebagai sentra produksi hortikultura. 
Dengan udara yang nan sejuk damai, sepanjang pengunungan, terutama tatkala kian mendekat dengan gunung Loka, terpapar produksi kentang, wortel,  strobery, apel, buah naga, jeruk keprok, sawo, dan lain-lain. Bahkan, telah bertebaran kebanggaan komparatif, berupa pengembangan kultur jaringan, varietas padi unggul, dan jagung. Di sudut yang lain, di bidang perikanan dan kelautan, dikembangkan ikan nila hasil budidaya cekdam, Balang Sikuyu.
Mengapa spektakuler? Karena sepanjang kita menyusuri pantai selatan hingga perbatasan kabupaten Bulukumba, telah disulap kawasan industri Bantaeng. Bantaran pantai hingga obyek wisata pantai Marina yang nan eksoktik, sedang dibangun industri-industri layanan dasar. Tercatat, ada 6 (enam) investor merencanakan membangun smelter atau pabrik pengolahan bijih nikel dan bijih besi. Investasinya tidak tanggung-tanggung, ditaksir Rp20 triliun.
Melalui MoU (Memoradum of Understanding) yang telah ditandatangani antara Badan Keuangan Amerika-Eropa, tersiar berita, Bantaeng akan diguyur “hujan” dana investasi sekitar Rp 1 triliun untuk membangun dan mengembangkan Pelabuhan Laut. Ada rencana investasi Rp 29 triliun untuk membangun kilang pengolahan minyak, bensin dan avtur. Bahkan, untuk menopang pembangunan industri tersebut, sudah siap dibangun pembangkit listrik berkekuatan 600 Mega Watt.
Yang teranyar, juga diberitakan tambahan calon investor smelter dari PT Macrolink Nickel Development (MND). Melalui Direktur MND, Feng Tao, MND bakal menanamkan investasi sekitar US$200 juta untuk pembangunan smelter. Perusahaan tambang asal China ini optimis mampu mengabsorpsi sekitar 300 orang tenaga kerja lokal. Sekadar catatan, di China, Macrolink (MND) tercatat dalam 500 perusahaan terbesar, yang bergerak di bidang pertambangan dan properti.

Buah yang Menakjubkan
Memang spektakuler, gebrakan yang dilakukan Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, pada periode pertama kepemimpinanya. Dengan visi konkret; “Menjadikan Bantaeng sebagai Wilayah Terkemuka Berbasis Desa Mandiri”. Selain membangun sentra produksi hortikulura, kawasan industri, dan kawasan wisata, tidak boleh dilupakan pula, membangun dan menyebarkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) diseluruh perdesaan, yang awalnya diharapkan mampu menyerap produksi hasil pertanian dan perikanan rakyat, dengan dukungan penyediaan fasilitas sistem Resi Gudang.
Yang tidak kalah menakjubkan, Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) pada Oktober 2012, telah melepas “gelar” kabupaten Bantaeng sebagai Daerah Tertinggal. Tidak mengherankan, jika pada tahun 2012, menurut catatan BPS (2012), penduduk miskin Bantaeng telah tertekan menjadi 5,8 persen, padahal pada 2008 tercatat 12,12 persen dari total penduduk. Demikian juga, angka pengangguran pada tahun yang sama tertekan menjadi 3,75 persen yang sebelumnya 12,09 persen.
Namun sangat disayangkan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada 2012 masih berada dalam kisaran Rp25,28 milyar, sebuah angka yang sangat minimalis di tengah obsesi Bupati yang sangat agresif. Yang jelas, secara agregatif, pertumbuhan ekonomi tampil impresif di atas rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi regional dan nasional, yang berada di kisaran 9 persen.
Galibnya, di tengah pertumbuhan ekonomi yang terdongkrak tinggi, acapkali diiringi angka Gini Rasio yang menganga lebar, yang mengindikasikan angka kesenjangan antara si miskin dan si kaya makin jauh. Apalagi jika daerah itu di-drive oleh kebijakan elitis dan eksklusif di antara segelintir eksekutif dan pemiliki kuasa modal.
Beranjak dari hasil itu, periode kedua kepemimpinan Nurdin Abdullah (2013-2018), memformulasikan visi baru, yakni: “Menjadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Bagian Selatan Sulawesi Selatan”. Obsesi agresifnya, Nurdin mencanangkan  program the New Bantaeng atau kota Water Front City dengan menetapkan pendekatan tiga kluster penanganan dan pengembangan sesuai karakteristik dan potensi daerah yang tiga dimensi (spectrum) — pegunungan, dataran, dan pantai, yang tentu untuk  peningkatan kesejahteraan rakyat. Pendekatan ini mengingatkan kita pada konsep mantan Gubernur Sulawesi Selatan, Ahmad Amiruddin, yang mengintrodusir konsep “pengwilayahan komoditas” pada era 1980-an, sebuah konsep yang lengket dengan konsep Richardian (David Richardo), salah satu dedengkot ekonomi neo-klasikal.
Lebih jauh dari itu, pengembangan potensi akan dilakukan dengan diiringi upaya besar-besaran membangun infrastruktur jalanan. Dari titik 0 (nol) di dataran rendah, jaringan jalan sudah mencapai wilayah-wilayah pegunungan diketinggian 1.300 dpl dengan kondisi beraspal hotmix. Sejumlah fasilitas berkaitan dengan pengembangan infrastruktur industri, pariwisata, pelayanan kesehatan, dan pendidikan serta pelayanan dasar lainnya sudah dieksiskan.

Bagaimana dengan Kebudayaan?
Dengan pembangunan yang diinisiasi bupati Nurdin Abdullah selama lebih satu periode ini, dan telah tampil impresif dan spektakuler (2008-2013), apakah hasil yang dibangun merupakan proses kebudayaan? Ataukah, apa pembangunan yang ia lakukan, abai terhadap kebudayaan? Inilah yang perlu kita telaah!
Maka,  kebudayaan tidak sekadar seni. Tapi, secara per definisi, kebudayaan berkait dengan bentuk jamak dari buddhi , yakni hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Common sense kita, kebudayaan adalah, hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala limitasi jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada disekitarnya.
Menurut Geertz (1973), kebudayaan sebagai pengejawantahan respon manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Konkretnya, kebudayaan berkait agregasi pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menafsir lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan (perilaku). Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai "mekanisme kontrol" bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia.
Lebih jauh, Koentjaraningrat(1984), kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut, pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia.
Dengan demikian, pembangunan terutama pembangunan ekonomi haruslah appreciated dengan nilai-nilai budaya, karena ia adalah bagian integral dari proses kebudayaan. Yang menjadi masalah, apakah pembangunan yang impresif dan spektakuler itu, merupakan manifestasi kebudayaan? Tentu, jawabannya “bisa iya dan bisa tidak”, bergantung sejauhmana akal dan budi berinteraksi sinergis, tanpa saling menegasikan.
Namun, harap diingat, kebudayaan merupakan kerja kolektif, selayaknya pembangunan merupakan inisiasi kolektif, bukan inisiasi personal. Kendati gagasan dan inisiasiasi itu kerap muncul secara personal, tapi bagaimana personalitas itu mampu mempersonifikasi diri dalam menularkan gerakan itu secara kolektif, dan tidak merupakan gerakan eksklusif di tingkat pejabat ataukah hanya gerakan eksklusif di tingkat pemilik modal (investor). Karena itu, publik harus tercerahkan dalam memahami proses pembangunan dan jangan sama sekali mengidentifikasi bahwa publik (baca: rakyat) itu adalah massa yang diam, mereka adalah massa yang mengontrol. Sehingga dengan ketercerahan itu, publik selain ikut memahami proses awal pembangunan, mereka juga harus mampu melakukan “mekanisme kontrol”  bagi hasil dari tindakan pembangunan.
Banyak bukti yang menunjukkan, pembangunan fisik kerap abai terhadap pembangunan kebudayaan, bahkan abai terhadap perspektif kemanusiaan. Demi obsesi segelintir atau eksklusifitas orang per orang, maka kerapkali derap pembangunan melangkah maju dalam rangka mencapai target, sehingga target-target indikatif pun menjadi “tuhan-tuhan baru”.
Yang lebih parah adalah, jika kebudayaan hanya sekadar proseduralitas dalam pembangunan. Kerapkali, demi asas partisipatif, alih-alih perencanaan pembangunan melibatkan publik atau representasi publik, tapi yang dilakukan adalah musyawarah perencanaan yang tanpa roh, karena “rohnya” telah diinisiasi oleh segelintir orang tertentu. Musyawarah perencanaan pembangunan misalnya, seolah hanya menjustifikasi inisiasi dan gagasan dari orang-orang itu. Maka, kalau tindakan ini dilakukan dan dieksekusi di dataran perencanaan, maka itu bukan tindakan kebudayaan, tapi merupakan tindakan manipulasi kebudayaan demi akselerasi pencapaian target yang diinginkan. Di situlah “tuhan-tuhan target” bermunculan.
Selanjutnya, jikalau ini tidak disadari dan berjalan terus, serta telah menyusup dalam otak kepala manusia atau penduduk secara kolektif, yakinlah, akan membuahkan gerakan masyarakat yang semakin pragmatis dan materialistik, karena indikator kemajuannya hanyalah indikator target dan fisik.
Maka, tatkala secara kolektif kita makin takjub terhadap hasil pembangunan, semisal menyeruaknya kawasan-kawasan industry, sudah dianggap lumrah atau tidak ada masalah, ketika itu pula “gong kematian” idealisme bermasyarakat telah tiba. Yakinlah, yang akan berkembang adalah perilaku hidup yang makin individualistik, pragmatis, dan materialistik. Nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong makin redup, dan pada gilirannya gejala de-humanisasi makin menguat, yang ditandai gaya hidup instan dan mau enaknya saja.
Dalam konteks inilah, di tengah agresifnya Pemda Bantaeng– atau orang-orang tertentu dalam meraih “tuhan-tuhan target” – diperlukan oase kebudayaan untuk memberikan efek kontrol dalam mengerem nafsu-nafsu agresif itu.  Nafsu-nafsu agresif itu kerap sulit dikendalikan, karena sudah menjadi mainstream kebijakan pembangunan secara umum. Indikator-indikator peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningakatan PDRB, pembangunan fisik kota,  dan lainnya telah dikompetisikan sehingga keberhasilan pembangunan suatu daerah/kota dianggap ditentukan oleh kemajuan-kemajuan indikatif di atas.
Karena itulah, komunitas kebudayaan yang tergabung kelompok literasi Boetta-Ilmu di Boetta Toa, seyogianya menjadi oase yang diharapkan membenahi satu persoalan kebudayaan itu. Boetta-Ilmu harus terus menampilkan karya-karya kontrol atau dalam bahasa Geertz (1973), menghidupkan “mekanisme kontrol” terhadap sepak terjang pembangunan yang tengah mengarah proses de-humanisasi.
Bahkan, jika memang pembangunan Bantaeng ke depan tidak sekadar bersandar pada “kehebatan” bupati Nurdin Abdullah, dan tetap ingin pembangunan yang agresif ini dipertahankan atau lebih dikembangkan,  maka landasan pembangunan kebudayaan harus dikembangkan sebagai mekanisme kontrol. Pembangunan,  tidak sekadar proseduralitas oleh segelintir orang. Karena itu, pembangunan Bantaeng jangan sampai menjadi artefak-artefak fisik, yang akan dikenang oleh anak cucu kita ke depan, bahwa Bantaeng pernah memililki kawasan industri terhebat. Artefak-artefak nostalgis seperti itu bisa jadi terwujud, kalau kita hanya mengandalkan sosok personafikasi bupati ternama, yang tentunya tidak akan ajek. Ada ruang dan waktu yang akan menutupnya. Karena itu, kita perlu memikirkan keberlanjutan pembangunan Bantaeng demi anak-cucu kita kelak. Wallahu ‘alam.







BAYANGAN ITU!

BAYANGAN ITU!



KUMPULAN PUISI (Mukhaer Pakkanna)


BAYANGAN ITU!
Kutermangu dalam kesyahduan rindu, di atas onggokan batu prasasti,
Tertoreh makna, 7-12-1254 masehi,
Termangu, dihimpitan delta bibir pantai Boetta Toa,
Karesidenan Bontain, kampungkubuttayya ri bantayan..
Termangu, membisu menatap bayangan wajah jelita,
di dalam bayangan genangan hempasan gelombang air laut…

Kutatap wajah itu, telah menjulurkan senyum manis padaku,
Memberi aba untuk membelai derai rambut panjangnya,
Kedipan matanya mengirim tanda, butuh kehangatan
Namun, bahasa tubuhnya  lamat-lamat ditelan sepoi-sepoi dingin,
Ditutup bianglala hidup yang mengintip cemburu,
Disertai burung Gagak mematuk-matuk segerombalan ikan,
Membuyarkan tatapan syahduku


Tatkala bayangan itu menghantui lagi,
Sekejap kuberlari kencang kembali menyemberangi delta pantai itu,
 termangu membisu dan mengiba
Kuraba kelopak mataku, memaksa senyumnya kembali bersua
dalam derai bulir-bulir putih gelombang laut rindu
Tatkala percikan air gelombang menyembur wajahku,
ekstasi cinta, kurasakan nikmatnya

Bayangan itu, kembali lagi.
Laksana fatamorgana dlm horison kehidupan
Menghantui dan menginspirasi
Memalsu dan mencambuk,
Aba senyuman dan deraian rambutnya, pertanda
dunia butuh cinta dan damai dalam galaunya semesta

Sahabatku…
Mari menganyam nostalgia,
menatap menggapai dunia yang lebih beradab.


Cirendeu, 11 April 2013


PASAR
Semburat jingga merajut suasana pagi,
Bekapan dingin lamat-lamat terkuak dianyam sinar mentari,
Hilir mudik manusia meruapkan kesibukan
Sang pedagang siap menggelar dan menyahut

Segerombolan burung merpati menjadi saksi
Bercanda, berkicau di pelataran parkir Queen Victoria Market,
Menyunggingkan aura senyum menyambut kaum hawa
Menyimbolkan pasar tak pernah ingkar janji

Suasana bising menyelimut pasar
Suara gaduh transaksi menyembul
Canda dan keakraban menyatu adonan aroma
Mengingatkan nostalgia pasar di pelupuk mata kampung halaman

Pasar oh pasar..
Dikau bukan super mall, yang siap melumat si kecil
Dikau, tempat meneguhkan identitas budaya dan kearifan
Saling menyapa, membangkitkan asa percaya
Tak ada mesin transaksi modern melumat keakraban
Persaudaraan dan mosaik kedamaian terasa nan indah darimu…


Ciputat, April 2013


ABORIGIN
Kudekap negeriku,
Kuintip nusantara  nan indah
Kebersamaan menjiwa
Gemah ripah loh jinawi.

Tapi,
Gemuruh modernisasi mematah jauh,
Beriring kemilau menakjubkan mata
Membawa sekat  hidup yang pongah
Dipojok jauh tersekat negeri yg kudekap
Merintih dan membisu

Nusantaraku terasing dalam gemuruh,
Gemerincing bunyi mesin memekak
Kepulan asap gerbong industri mengangkasa,
Mekar semarak kehidupan yg abai,

Hidup nusantaraku teraborigin,
Dijadikan artefak dipertontonkan
Dikomersialisasi laksana kaum Mouri.
Kehidupan kian pongah
Menanti eksplosi yg dahsyat.


Auckland, NZ, 9-3-2013
Renungan di depan Museum Michael Joseph, Savage Memorial.


SEPI
Sumpek duniaku..gaduh negeriku, laksana lokap kehidupan
Dilaju fabrikasi keegoan,
Kemilau cahaya kebersamaan, dilumat tubuh
Roh abadi yang membatin, telah ditiup pergi
Semarak keserakahan, kekerasan, dan perebutan kuasa dipamer.
Dunia laksana diiris sembilu tak berujung.

Roh, segeralah mendekat kepangkuan pencipta-Mu.
Usirlah tubuh-tubuh yang mengejar keinginan,
yang tak pernah abadi.
Roh, bersemayamlah dalam kebutuhan batin yang ajeg.

Sepi.. bukan menyepi.
Nyepi, menuju pintu pembatinan.
Sejenak merenungi tubuh yang dirungkup keserakahan
Nyepi, berdialoglah dengan dirimu..
Berbicaralah dengan sepoi2 angin dan senandung burung merpati.
Semesta alam menunggumu dalam runtun cinta sejati.

Dalam sepi ada kearifan yang tidak beku.
Itulah ilmu.
Menunggu untuk membaca tanda-tanda alam
Sepi, sejenak membersihkan rongga-rongga kepalsuan
Menunggu pada keabadian sejati.


Selamat hari Nyepi bagi yang merayakan..
Bandara Soekarno-Hatta, 11-3-2013
(sambil menunggu jemputan dalam kesepian)


KEBAYA
Bunyi petasan memekak
Suara musik riuh  mengangkasa
Perempuan-perempuan ayu dgn kebaya dan selendangnya
Berlenggok menyusuri pematang sawah
Disambut semilir angin
Dengan senyuman burung bangau mengitari
Gemerincing air sungai pun menyapa
Menuju sebuah prosesi sakral di seberang dusun

Kebaya!
Dikau hanya dijadikan simbol dusun,
Hanya dijadikan simbol upacara
Dikau telah tersudut oleh medernisasi fashion
Dikau telah dieksploitasi dan kehilangan ruh karakter

Kebaya!
Dalam dirimu membatin pergolakan
Ada nasionalisme membuncah
Pernak-pernik, manik-manik, batik tulis bersulam sutera
Ada mozaik kearifan dalam dirimu

Kebaya!
Perempuan-perempuan ayu telah melupakanmu,
Demi modernisasi, seolah dikau telah disejajarkan oleh fosil sejarah
Beriring lumernya semangat kebangsaan

Bandara Soekarno-Hata, 3-3-2013

MENDARAS TANGISAN PILU DAENG BA’DU

MENDARAS TANGISAN PILU DAENG BA’DU




CERITA PENDEK (CERPEN)

MENDARAS TANGISAN  PILU DAENG BA’DU
(Cerpen Ekonomi)

Mukhaer Pakkanna

Nyaris saban hari, di depan rumahku berjejeran armada angkutan becak. Maklum, di depan rumahku para pengayuh becak, menjadikannya sebagai pangkalan. Entah sejak kapan, mereka mulai mangkal. Yang pasti, sejak aku mulai memiliki rekaman memori seperti yang diungkap JR Anderson(2012) dalam buku Learning & Memoryan Integrated Approach, kira-kira usia tiga tahun, para penarik becak telah familiar dengan lokasi itu. Selain teduh, karena pohon asam berusia ratusan tahun, berdaun lebat bergelayut, menjuntai, dan juga tempatnya adem strategis di perempatan jalan utama.

Usai sekolah, hampir setiap petang, aku mampir dan menegur sapa mereka. Bahkan, sesekali aku larut dalam cengkerama santai dan sendau gurau. Banyak kronika kehidupan yang mulai kurekam. Gaya guyub mereka cukup kental. Mereka ibarat satu keluarga besar, mereka saling asah, asih, dan asuh. Kendati hidupnya cukup keras di tempa alam. Panas di santap terik mentari hingga dingin diguyur hujan telah membalut, tidak lekang dalam goresan hidupnya.

“Becak...becak..daeng becak!..”, teriak calon penumpang dari seberang perempatan jalan Merpati Raya. Ibarat koloni, para pengayuh becak pun sigap merespon panggilan. Tanpa perintah, mereka saling mafhum, antri menjemput calon penumpang. Mereka tampaknya sudah terbiasa disiplin dalam berjamaah, tanpa saling seradak-seruduk berebutan calon penumpang. Padahal tingkat pendidikan mereka, rerata kelas 2 SD. Mereka putus sekolah karena ketiadaan biaya. Prinsip mereka, yang penting bisa baca tulis. Titik.

Mereka yakin dan ikhlas, riski tumpangan akan datang lagi. Mereka yakin, pasar penumpang di depan rumahku sangat menggiurkan. “Yang penting sabar,” ujar daeng Ba’du berkhotbah. Padahal daeng Ba’du adalah sosok yang tidak pernah terlihat batang hidungnya mengaji dan tadarussan di musholla reot di sekitar rumahnya. Ia sibuk dengan urusan becaknya.

Suatu hari, tumpangan mulai terasa sepi. “Maklum tanggal tua! Kalau sudah tanggal 15-an ke atas, yah kita banyak santai. Penumpang kurang. Banyak yang berjalan kaki,” ujar daeng Majid, pengayuh becak yang paling senior.

“Kalau tanggal tua, paling bisa bawa pulang Rp10.000,- per hari!”, timpal daeng Ba’du lagi.
Wah, mau makan apa yah anak istri kalau penumpang sepi melulu”, sambut daeng Pe’te.
“Masih mending, kalau tumpangan sepi, becakku juga selalu rusak. Tali rantainya selalu copot. Piringan gear-nya makin aus. Bagaimana anak-anakku bisa makan? “Beli rantai dan piringan gear baru saja susah,” resah daeng Baco.
“Tapi, kenapa yah, walau kita selalu menggerutu, tapi kan dapur kita masih bisa ngepul. Anak-anak kita masih pada bernafas?”, timpal daeng Majid dengan seloroh khas makassarnya.

Jelang adzan magrib berkumandan, ibuku lazim memanggilku dari teras rumah. Tugas rutinku memasukkan anak ayam kampung peliharaan masuk ke kandangnya. Maklum, di antara kami bersaudara kandung, kami sudah terbiasa berbagi tugas. Untuk urusan anak ayam dan menimba air dari sumur, itu dianggap kompetensiku. Itu secara alamiah dianggap keahlianku.

 “Sudahlah, kenapa kamu termenung anakku”? Penuhilah air bak mandi itu, Attamu (ayah, red) mau mandi sekarang. Sekarang kan sudah hampir magrib!,” tegur ibuku. Apa anak ayam sudah masuk kandang? “Apa yang kau pikirankan lagi?”, tambahnya sambil melirikku.

Aku pun sigap. Usai Attaku mandi, aku pun menyusul mandi sambil bergumam mengingat pembiacaaraan dengan para pengayuh becak tadi. Entah kenapa, percakapan mereka melekat dalam hatiku. Pikiranku agak terbebani, sampai-sampai tidak terasa air segar dingin yang mengguyur dari balik pancuran bak mandi yang tatakannya lebih tinggi, ludes sudah.

“Yang terpikir olehku hanya satu, kok bisa yah hanya dengan penghasilan Rp10.000/hari atau Rp300.000 per bulan, mereka sekeluarga bisa hidup? Padahal mereka tidak punya warisan tanah, tabungan, dan lainnya dari orangtuanya? Tidak juga ada warisan ilmu dari sekolah? Apakah ini yang disebut kemiskinan kultural atau struktural? Apa memang sengaja Tuhan tidak memihak kepada nasib mereka?

“Mungkin pak Sutia Budi, guru ekonomi yang kusegani dan inspiratif di sekolahku, SMAN I Bantaeng, yang bisa menjawabnya. Besok, saya akan tanyakan ke beliau,” ujarku dalam hati.

Usai sholat magrib berjamaah, dari balik jendela kamarku, kuintip lagi para pengayuh becak itu. Rasanya aku ingin berdiskusi, dan mendengar banyak rintihan dari mereka. Banyak pelajaran hidup yang bisa kutarik hikmahnya. Mata pelajaran ekonomi dari pak guru Sutia Budi di kelas pada minggu sebelumnya yang bercerita banyak tentang penderitaan dan kesenjangan sosial, cukup banyak mengganggu pikiranku.

Aku ingin membuktikan fakta-fakta ucapanya itu. Maklum, cita-citaku sejak SD hingga sekarang (SMA), ingin menjadi ahli ekonomi, plus memahami peta realitas sosiologis dan antropologis kehidupan manusia. Aku tidak mau buta dengan fakta. Pikiran dan fakta mesti sejalan.

Aku berambisi, bahwa selain aku bisa jadi ekonom handal, ilmuku harus memberi manfaat kebanyak orang. Bermanfaat bagi masyarakat, membei jalan terang bagi masyarakat. Terus terang, aku terinspirasi kisah inspiratif dari pemenang hadiah Nobel, Muhammad Yunus,  dalam bukunya “Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskina” (2009).  yang sadar segera melepas mantel gelar PhD-nya. Kisah Yunus menjadi ”tamparan” bagi para ekonom ”menara gading” untuk bergumul dalam lumpur persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan.

“Aku ingin menjadi Yunus”, ujarku membatin. Yunus itu ingin melepaskan diri dari kesombongan yang menyertai seorang PhD-nya, yang cenderung melihat situasi dengan sudut pandang mata burung.  Para ekonom seyogianya, mendapatkan sudut pandang mata cacing, yakni berfokus pada satu persoalan kecil dan mencoba berada di atasnya – sebuah strategi yang lebih efektif karena beranjak dari kenyataan lapangan.

“Saatnya sekarang, di depanku, ada fakta kemiskinan dari para pengayuh becak. Ini laboratorium hidup yang perlu dicarikan solusinya,” batinku memberontak. “Mestinya, semakin banyak orang terpelajar di kampung itu, kemiskinan harus semakin berkurang. Tapi kenapa, semakin banyak orang terpelajar, kemiskinan makin meningkat? Apa yang mereka pelajari dari kaum terpelajar itu di bangku-bangku sekolah?

“Aku ingin seperti Yunus, karena ia rela  turun gunung”, bisikku dalam hati. Yunus telahmenemukan pencerahan, tatkala pada salah satu acara berkeliling ke desa bertemu dengan seorang perempuan pembuat bangku dari bambu. Namun, karena ketidaaan modal perempuan tersebut meminjam kepada rentenir untuk membeli bambu sebagai bahan baku. Setelah bangku tersebut jadi harus dijual kepada rentenir dan dia hanya mendapatkan selisih keuntungan sekitar 1 penny. “Inilah rantai kemiskinan yang perlu diurai dan diputus tuntas,” kata Yunus.

“Aku harus menjadi problem solver, bukan part of problem. Terus terang aku terobsesi dengan perkataan Albert Einstein yang pernah kubaca waktu mata pelajaran Fisika SMA Kelas I: “It’s better to light a candle than curse the darkness” alias “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”

Lamat-lamat kuintip para pengayuh becak di depan rumahku, dan tidak terasa aku keluar rumah melalui jendela. Aku melompat. Aku yakin, kalau pamit keluar rumah melalui pintu ruang tamu, pasti aku harus ikut tadarussan hingga menunggu waktu sholat isya. Sudah menjadi kegaliban, di dalam keluarga kami, orangtuaku mewajibkan seluruh anggota keluarga kumpul di ruang tamu. Selain tadarussan, pasti Attaku selalu memberikan beberapa nasihat dan cerita-cerita sejarah tentang kisah para nabi, rasul dan para sahabat-sahabatnya.

“Kenapa kau ada di sini?, tegur daeng Ba’du.
“Memangnya kamu mau jadi pengayuh becak? Sudah, masuk rumah sana!, nanti Attamu pasti mencarimu”.

“Daeng Ba’du”!, ujarku lirih memulai pertanyaanku.
“Memangnya, sejak kapan daeng Ba’du narik becak?”
“Apa tidak capek? Berangkat usai sholat subuh dan balik ke rumah usai sholat isya kan?
“Bagaimana dengan anak-anak daeng Ba’du”?
Apa mereka sekolah? Apa mereka bisa makan cukup dengan penghasilan Rp10.000 per hari?

Tiba-tiba daeng Ba’du membentak: “Memang kenapa, apa salah. Kerjaan saya kan halal. Saya bukan maling alias koruptor yang kerap menghias media-media elektronik”?

“Terus terang, aku idak habis berpikir, bagaimana bisa menghidupi keluarga daeng Ba’du dengan hidup Rp10.000 per hari? Punya istri dan tiga anak lagi?

Sambil tertegun, terdiam. Ekpresi wajah daeng Ba’du pun berubah. Matanya pun berkedap-kedip dan menggaruk-garuk kepala, yang saya yakin kepalanya tidak gatal. Rambutnya yang kribol tak beraturan, pertanda ia tidak siap dengan serangan pertanyaanku.

Sambil menunggu sekian menit, suasana menjadi hening. Lalu lalang keramaian lalu lintas menjadi senyap dalam interaksi batin kami berdua. “Tapi, aku ingin ada jawaban dari daeng Ba’du”, ujarku berharap. Sambil menatapku, ia pun menjawab terbata-bata..

“Sejak tiga minggu ini, tiga anakku sedang sakit”, ujar daeng Ba’du mengawali tuturnya. Entah kenapa, sekujur tubuh anak-anaku memerah dan timbul bisul-bisul bernanah. Aku mengobatinya dari daun jarak dan rebusan daun pepaya, yang daunya kuambil di pelataran perkuburan dekat rumah. Awalnya, yang kena anak paling kecilku. Terus menular ke kakak-kakaknya. Sekarang, istriku pun kena. Kata dokter di Puskesmas Malillingi, itu bukan cacar, tapi penyakit kulit.

“Dokter Puskesma merekomendasikan ke dokter spesialis kulit. Tapi, spesialis kulit kan tidak ada di Bantaeng ini. Saya harus membawa mereka berobat ke kota Makassar, sekitar 124 kilometer. Tentu butuh biaya tidak sedikit”.

“Sebelum saya ke Puskesmas, saya antar anak-anak ke dokter Farid. Tapi, tidak sembuh-sembuh juga. Malah menular ke yang lain”. Saya sudah pinjam dana biaya berobat ke bank keliling di dekat pasar sentral. Alhamdulilllah, cukup membantu. Tapi saya kan harus melunasi utang segera”

“Tapi saya yakin mereka akan segera sembuh. Karena saya yakin, siapa yang berusaha sungguh-sungguh pasti ada obatnya, pasti ada jalan keluarnya. Hanya waktu yang akan bicara,” tambah lelaki kurus kering kecil berusia 35 tahun itu.      

“Apa perlu saya bantu?”, ujarku tak sadar menawarkan diri.
“Sudahalah, kaukan masih pelajar, masih kelas II SMA. Kau pikirkan saja masa depanmu. Jalanmu masih panjang”, timpal daeng Ba’du lagi.
“Tidak usaha kau ceritakan masalahku dengan orangtuamu, aku malu. Aku masih bisa mencari jalan keluar”
“Teman-temanku sesama pengayuh becak pun tidak tau, tidak usah kau pikirkan. Kamu anak baru kemarin!”

Daeng Ba’du, sosoknya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi, semangatnya luar biasa untuk bekerja keras. Mulai jam lima pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Kemudian dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan, ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam, usai sholat isya.

Para pelanggannya sangat menyukai daeng Ba’du. Karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan, ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, beberapa orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kurus kering dan kecil malah tergolong ringkih itu, dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Daeng Ba’du tinggal di sebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, bersama istri dan tiga anaknya. Tetangganya juga banyak penarik becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan dua ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat. Diruang utama, ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

Sambil aku termenung dan gagap, segera aku kembali dan masuk ke halaman rumahku. Aku pun teringat ucapan daeng Ba’du sambil mengigat hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula obatnya”.

Berat rasanya aku melangkahkan kaki balik ke rumah, dan kemudian permisi ikut bergabung kembali tadarussan di ruang tamu. Lagipula, aku yakin, aku mendapat hukuman (sanksi) dari attaku karena kabur usai sholat magrib berjamaah tadi. Aku pun bingung!

Tapi, aku membatin, terus terang, aku malu yah Tuhan. Rutinitasku sholat berjamaah, berdoa dan tadarassan saban magrib hingga usai sholat Isya, belum memberi efek internalisasi dalam diriku. Aku belum memberi manfaat kepada banyak orang. Aku takut dituduh Allah sebagai orang yang sombong karena tidak perduli kepada mereka yang rentan, miskin, dan teraniaya, yang ada disekeliling rumahku.

Aku pun teringat pada bunyi pesan surah al Ma’un, yang selalu dikutip Kiyai Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta,tatkala membengkali santri-santrinya dengan metode pembelajaran (sorogan/halaqah) dan model klasikal: “Tuhan mengancam terhadap mereka yang tergolong mendustakan agama, yakni mereka yang menghardik anak yatim, tidak menolong fakir miskin, riya'dalam sholatnya, serta enggan menolong dengan barang-barang yang berguna.

Hari berganti hari, sepanjang malam, ada pergolakan batin dalam diriku. Aku pun bergumam protes, untuk apa kita sholat, puasa, naik haji, umroh berkali-kali, kalau ilmu kita tidak bermanfaat pada banyak orang?. “Itu namnya merugi”.. Demikian juga, untuk apa kita sekolah dengan titel yang berjubel, tapi tidak mampu memberi jalan keluar bagi masyarakat. “Untuk apa? Untuk apa? Untuk apa?”, itulah kalimat pemberontakaku di 3/4 malam yang hening jelang subuh di suatu hari.

Tidak terasa, selang beberapa tahun berikutnya, terdengar kabar, daeng Ba’du telah diajak oleh Tuhannya untuk bertemu dalam alam kesejatian. Daeng Ba’du tampaknya memaksa takdir dan kehendak Tuhan,.akhirnya, aku pun membuat goresan kalimat untuknya dengan tetesan tangisan pilu, yang rasanya sulit kuterima dalam fakta. Inilah goresanku:

Sahabatku Pergi …!
Lukamu masih menganga dalam nuraniku. Sembilu itu tak lekang di telan masa. Guratan wajahmu masih tertusuk tajam dalam memoriku. Bayangan keceriaanmu masih menjuntai di pelupuk bulu mataku. Sorotan matamu, meniscayakan ingatanku kugiring untuk selalu berontak. Berontak atas nasibmu. Berontak atas ketidakadilan yang kerap menjadi sahabat karibmu. 

Pagi itu, kau begitu ceria, bercanda, bergurau dalam kerasnya roda waktu. Seolah rasa damai lekat dihatimu. Seolah kebahagiaan adalah milikmu. Seolah beban hidupmu tidak menggelayut sedikitpun ada noktah. Tapi, aku yakin, rautan wajahmu itu tidak seindah keceriaanmu. Ada beban yang kau tutup rapat-rapat. Ada bau anyir yang kau endapkan dalam beban hidupmu. Kumembatin, kau hidup dalam dua dunia.

Petang itu, terhirup kabar dari sekawanan burung elang yang mengepakkan sayapnya di atas nyiur melambai. Sementara, di pelataran jalan tampak sepi. Canda dan gurau tertelan dalam keheningan. Para pengayuh becak yang kerap ceria menghampiri depan halaman rumahku, menghilang bagai di telan bumi. Tiba-tiba tersiar kabar dari seberang mushola reot, berita yang tak mengenakkan hati. Ibarat di sambar petir di siang bolong, aku tidak sanggup menerima kabar itu.

Sahabatku, daeng Ba’du, pergi untuk selamanya ke dunia lain, tanpa pamit menggenggam dua dunia yang kontras.

Hidupnya yang keras dalam kayuh penarik becak, terlilit beban. Beban struktural. Beban ketidakadilan. Beban utang, beban lintah darat, beban kemiskinan.

Daeng Ba’du, menjuntai di atas langit-langit rumah manzil yang sepi, yang hanya diintip seekor kelelawar.

Ia “memaksa” Tuhan untuk segera meminangnya. Ia “memaksa” sang takdir segera mendekap dirinya. Ia hirau dalam hitungan sunatullah.

Sahabatku, kau pergi dalam kesunyianmu. Pergi di tengah ketidakperdulian kita. Pergi tatkala “keadilan sosial” menjadi barang dagangan. Pergi ketika rajutan cinta kemanusiaan hanyalah retorika hidup. Sahabatku, selamat jalan...selamat jalan…Tersenyum indahlah di hadapan kekasih-Mu.

Surakarta, 19 Mei 2015

Mukhaer Pakkanna

Total Pengunjung

55 Coffe Break
Informasi yang di dapatkan seputar obrolan kopi darat.
9000 Pengunjung
Trafik Line Pengunjung Blogger KKB Jakarta
400 Pengunjung
Pengunjung yang telah mengunjungi Blogspot KKB Jakarta

Struktur Organisasi

Munawar Sahabuddin
KKB Jakarta
Beny Yusuf Nurdin
KKB Jakarta
Achil Aprianto
KKB - Jakarta
Silahkan disi namanya
KKB - Jakarta

Hubungi Kami

Kerukunan Keluarga Bantaeng - Jakarta

Alamat Sekretariat : Jl. Rawa Sari No.1 Jakrta Pusat - Indonesia

Alamat:

Jl. Rawa Sari No.1 Jakrta Pusat - Indonesia

Pelayanan Informasi:

senin s/d sabtu pukul 08.00 s/d 17.00 WIB

Telepon:

(021),.......