MENDARAS TANGISAN PILU DAENG BA’DU
CERITA PENDEK (CERPEN)
MENDARAS
TANGISAN PILU DAENG BA’DU
(Cerpen
Ekonomi)
Mukhaer Pakkanna
Nyaris saban
hari, di depan rumahku berjejeran armada angkutan becak. Maklum, di depan
rumahku para pengayuh becak, menjadikannya sebagai pangkalan. Entah sejak kapan, mereka mulai mangkal.
Yang pasti, sejak aku mulai memiliki rekaman memori seperti yang diungkap JR Anderson(2012) dalam buku Learning & Memoryan Integrated Approach, kira-kira usia
tiga tahun, para penarik becak telah familiar dengan lokasi itu. Selain teduh,
karena pohon asam berusia ratusan tahun, berdaun lebat bergelayut, menjuntai,
dan juga tempatnya adem strategis di perempatan jalan utama.
Usai sekolah,
hampir setiap petang, aku mampir dan menegur sapa mereka. Bahkan, sesekali aku
larut dalam cengkerama santai dan sendau gurau. Banyak kronika kehidupan yang
mulai kurekam. Gaya guyub mereka cukup kental. Mereka ibarat satu keluarga
besar, mereka saling asah, asih, dan asuh. Kendati hidupnya cukup keras di
tempa alam. Panas di santap terik mentari hingga dingin diguyur hujan telah
membalut, tidak lekang dalam goresan hidupnya.
“Becak...becak..daeng
becak!..”, teriak calon penumpang dari seberang perempatan jalan Merpati Raya.
Ibarat koloni, para pengayuh becak pun sigap merespon panggilan. Tanpa
perintah, mereka saling mafhum, antri menjemput calon penumpang. Mereka
tampaknya sudah terbiasa disiplin dalam berjamaah, tanpa saling seradak-seruduk berebutan calon
penumpang. Padahal tingkat pendidikan mereka, rerata kelas 2 SD. Mereka putus
sekolah karena ketiadaan biaya. Prinsip mereka, yang penting bisa baca tulis.
Titik.
Mereka yakin dan
ikhlas, riski tumpangan akan datang lagi. Mereka yakin, pasar penumpang di
depan rumahku sangat menggiurkan. “Yang penting sabar,” ujar daeng Ba’du
berkhotbah. Padahal daeng Ba’du adalah sosok yang tidak pernah terlihat batang
hidungnya mengaji dan tadarussan di musholla reot di sekitar rumahnya. Ia sibuk
dengan urusan becaknya.
Suatu hari,
tumpangan mulai terasa sepi. “Maklum tanggal tua! Kalau sudah tanggal 15-an ke
atas, yah kita banyak santai.
Penumpang kurang. Banyak yang berjalan kaki,” ujar daeng Majid, pengayuh becak
yang paling senior.
“Kalau tanggal
tua, paling bisa bawa pulang Rp10.000,- per hari!”, timpal daeng Ba’du lagi.
“Wah, mau makan apa yah anak istri kalau penumpang sepi melulu”, sambut daeng Pe’te.
“Masih mending,
kalau tumpangan sepi, becakku juga selalu rusak. Tali rantainya selalu copot.
Piringan gear-nya makin aus.
Bagaimana anak-anakku bisa makan? “Beli rantai dan piringan gear baru saja susah,” resah daeng Baco.
“Tapi, kenapa yah, walau kita selalu menggerutu, tapi kan dapur kita masih bisa ngepul.
Anak-anak kita masih pada bernafas?”, timpal daeng Majid dengan seloroh khas
makassarnya.
Jelang adzan
magrib berkumandan, ibuku lazim memanggilku dari teras rumah. Tugas rutinku
memasukkan anak ayam kampung peliharaan masuk ke kandangnya. Maklum, di antara
kami bersaudara kandung, kami sudah terbiasa berbagi tugas. Untuk urusan anak
ayam dan menimba air dari sumur, itu dianggap kompetensiku. Itu secara alamiah
dianggap keahlianku.
“Sudahlah, kenapa kamu termenung anakku”?
Penuhilah air bak mandi itu, Attamu (ayah,
red) mau mandi sekarang. Sekarang kan
sudah hampir magrib!,” tegur ibuku. Apa anak ayam sudah masuk kandang? “Apa
yang kau pikirankan lagi?”, tambahnya
sambil melirikku.
Aku pun sigap.
Usai Attaku mandi, aku pun menyusul mandi sambil bergumam mengingat
pembiacaaraan dengan para pengayuh becak tadi. Entah kenapa, percakapan mereka melekat dalam hatiku. Pikiranku
agak terbebani, sampai-sampai tidak terasa air segar dingin yang mengguyur dari
balik pancuran bak mandi yang tatakannya lebih tinggi, ludes sudah.
“Yang terpikir
olehku hanya satu, kok bisa yah hanya dengan penghasilan
Rp10.000/hari atau Rp300.000 per bulan, mereka sekeluarga bisa hidup? Padahal
mereka tidak punya warisan tanah, tabungan, dan lainnya dari orangtuanya? Tidak
juga ada warisan ilmu dari sekolah? Apakah ini yang disebut kemiskinan kultural
atau struktural? Apa memang sengaja Tuhan tidak memihak kepada nasib mereka?
“Mungkin pak
Sutia Budi, guru ekonomi yang kusegani dan inspiratif di sekolahku, SMAN I
Bantaeng, yang bisa menjawabnya. Besok, saya akan tanyakan ke beliau,” ujarku
dalam hati.
Usai sholat
magrib berjamaah, dari balik jendela kamarku, kuintip lagi para pengayuh becak
itu. Rasanya aku ingin berdiskusi, dan mendengar banyak rintihan dari mereka.
Banyak pelajaran hidup yang bisa kutarik hikmahnya. Mata pelajaran ekonomi dari
pak guru Sutia Budi di kelas pada minggu sebelumnya yang bercerita banyak
tentang penderitaan dan kesenjangan sosial, cukup banyak mengganggu pikiranku.
Aku ingin
membuktikan fakta-fakta ucapanya itu. Maklum, cita-citaku sejak SD hingga
sekarang (SMA), ingin menjadi ahli ekonomi, plus memahami peta realitas
sosiologis dan antropologis kehidupan manusia. Aku tidak mau buta dengan fakta.
Pikiran dan fakta mesti sejalan.
Aku berambisi,
bahwa selain aku bisa jadi ekonom handal, ilmuku harus memberi manfaat kebanyak
orang. Bermanfaat bagi masyarakat, membei jalan terang bagi masyarakat. Terus
terang, aku terinspirasi kisah inspiratif dari pemenang hadiah Nobel, Muhammad
Yunus, dalam bukunya “Menciptakan Dunia Tanpa
Kemiskina” (2009). yang sadar segera
melepas mantel gelar PhD-nya.
Kisah Yunus menjadi ”tamparan” bagi para ekonom ”menara gading”
untuk bergumul dalam lumpur persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan.
“Aku ingin menjadi Yunus”, ujarku
membatin. Yunus itu ingin melepaskan diri dari kesombongan yang menyertai
seorang PhD-nya, yang cenderung melihat situasi dengan sudut pandang mata
burung. Para ekonom
seyogianya, mendapatkan sudut pandang mata cacing,
yakni berfokus pada satu persoalan kecil dan mencoba berada di atasnya – sebuah
strategi yang lebih efektif karena beranjak dari kenyataan lapangan.
“Saatnya
sekarang, di depanku, ada fakta kemiskinan dari para pengayuh becak. Ini
laboratorium hidup yang perlu dicarikan solusinya,” batinku memberontak.
“Mestinya, semakin banyak orang terpelajar di kampung itu, kemiskinan harus
semakin berkurang. Tapi kenapa, semakin banyak orang terpelajar, kemiskinan
makin meningkat? Apa yang mereka pelajari dari kaum terpelajar itu di
bangku-bangku sekolah?
“Aku ingin seperti Yunus, karena ia rela turun
gunung”, bisikku dalam hati. Yunus telahmenemukan pencerahan, tatkala pada salah satu acara
berkeliling ke desa bertemu dengan seorang perempuan pembuat bangku dari bambu. Namun, karena ketidaaan modal perempuan tersebut meminjam kepada
rentenir untuk membeli bambu sebagai bahan baku. Setelah bangku tersebut jadi
harus dijual kepada rentenir dan dia hanya mendapatkan selisih keuntungan
sekitar 1 penny. “Inilah rantai
kemiskinan yang perlu diurai dan diputus tuntas,” kata Yunus.
“Aku harus
menjadi problem solver, bukan part of problem. Terus terang aku
terobsesi dengan perkataan Albert Einstein yang pernah kubaca waktu mata
pelajaran Fisika SMA Kelas I: “It’s better to
light a candle than curse the darkness” alias “Lebih baik
menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”
Lamat-lamat
kuintip para pengayuh becak di depan rumahku, dan tidak terasa aku keluar rumah
melalui jendela. Aku melompat. Aku yakin, kalau pamit keluar rumah melalui
pintu ruang tamu, pasti aku harus ikut tadarussan hingga menunggu waktu sholat isya.
Sudah menjadi kegaliban, di dalam keluarga kami, orangtuaku mewajibkan seluruh
anggota keluarga kumpul di ruang tamu. Selain tadarussan, pasti Attaku selalu
memberikan beberapa nasihat dan cerita-cerita sejarah tentang kisah para nabi,
rasul dan para sahabat-sahabatnya.
“Kenapa kau ada
di sini?, tegur daeng Ba’du.
“Memangnya kamu
mau jadi pengayuh becak? Sudah, masuk rumah sana!, nanti Attamu pasti
mencarimu”.
“Daeng Ba’du”!,
ujarku lirih memulai pertanyaanku.
“Memangnya,
sejak kapan daeng Ba’du narik becak?”
“Apa tidak capek? Berangkat usai sholat subuh dan
balik ke rumah usai sholat isya kan?
“Bagaimana
dengan anak-anak daeng Ba’du”?
Apa mereka
sekolah? Apa mereka bisa makan cukup dengan penghasilan Rp10.000 per hari?
Tiba-tiba daeng
Ba’du membentak: “Memang kenapa, apa salah. Kerjaan saya kan halal. Saya bukan maling alias koruptor yang kerap menghias
media-media elektronik”?
“Terus terang,
aku idak habis berpikir, bagaimana bisa menghidupi keluarga daeng Ba’du dengan
hidup Rp10.000 per hari? Punya istri dan tiga anak lagi?
Sambil tertegun,
terdiam. Ekpresi wajah daeng Ba’du pun berubah. Matanya pun berkedap-kedip dan
menggaruk-garuk kepala, yang saya yakin kepalanya tidak gatal. Rambutnya yang
kribol tak beraturan, pertanda ia tidak siap dengan serangan pertanyaanku.
Sambil menunggu
sekian menit, suasana menjadi hening. Lalu lalang keramaian lalu lintas menjadi
senyap dalam interaksi batin kami berdua. “Tapi, aku ingin ada jawaban dari
daeng Ba’du”, ujarku berharap. Sambil menatapku, ia pun menjawab terbata-bata..
“Sejak tiga
minggu ini, tiga anakku sedang sakit”, ujar daeng Ba’du mengawali tuturnya.
Entah kenapa, sekujur tubuh anak-anaku memerah dan timbul bisul-bisul bernanah.
Aku mengobatinya dari daun jarak dan rebusan daun pepaya, yang daunya kuambil
di pelataran perkuburan dekat rumah. Awalnya, yang kena anak paling kecilku.
Terus menular ke kakak-kakaknya. Sekarang, istriku pun kena. Kata dokter di
Puskesmas Malillingi, itu bukan cacar, tapi penyakit kulit.
“Dokter Puskesma
merekomendasikan ke dokter spesialis kulit. Tapi, spesialis kulit kan tidak ada di Bantaeng ini. Saya
harus membawa mereka berobat ke kota Makassar, sekitar 124 kilometer. Tentu
butuh biaya tidak sedikit”.
“Sebelum saya ke
Puskesmas, saya antar anak-anak ke dokter Farid. Tapi, tidak sembuh-sembuh
juga. Malah menular ke yang lain”. Saya sudah pinjam dana biaya berobat ke bank
keliling di dekat pasar sentral. Alhamdulilllah,
cukup membantu. Tapi saya kan harus
melunasi utang segera”
“Tapi saya yakin
mereka akan segera sembuh. Karena saya yakin, siapa yang berusaha
sungguh-sungguh pasti ada obatnya, pasti ada jalan keluarnya. Hanya waktu yang
akan bicara,” tambah lelaki kurus kering kecil berusia 35 tahun itu.
“Apa perlu saya
bantu?”, ujarku tak sadar menawarkan diri.
“Sudahalah, kaukan masih pelajar, masih kelas II SMA.
Kau pikirkan saja masa depanmu. Jalanmu masih panjang”, timpal daeng Ba’du
lagi.
“Tidak usaha kau
ceritakan masalahku dengan orangtuamu, aku malu. Aku masih bisa mencari jalan
keluar”
“Teman-temanku
sesama pengayuh becak pun tidak tau, tidak usah kau pikirkan. Kamu anak baru
kemarin!”
Daeng Ba’du,
sosoknya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran
becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi, semangatnya luar
biasa untuk bekerja keras. Mulai jam lima pagi setelah melakukan rutinitasnya
untuk bersekutu dengan Tuhan. Kemudian dia melalang dijalanan, di atas becaknya
untuk mengantar para pelanggannya. Dan, ia akan mengakhiri kerja kerasnya
setelah jam delapan malam, usai sholat isya.
Para
pelanggannya sangat menyukai daeng Ba’du. Karena ia pribadi yang ramah dan
senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan, ia tak pernah mematok berapa orang
harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, beberapa orang yang
menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat
bagaimana tubuh yang kurus kering dan kecil malah tergolong ringkih itu, dengan
nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat
bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.
Daeng Ba’du
tinggal di sebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, bersama istri dan
tiga anaknya. Tetangganya juga banyak penarik becak, para penjual asongan dan
pemulung lainnya. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah
tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa
merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.
Gubuk itu
hanya merupakan dua ruang
kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat. Diruang utama, ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada
sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah
selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Di pojok ruangan tergantung
sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi
kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.
Sambil aku
termenung dan gagap, segera aku kembali dan masuk ke halaman rumahku. Aku pun
teringat ucapan daeng Ba’du sambil mengigat hadis yang diriwayatkan Imam
Bukhari: “Tidaklah Allah turunkan
penyakit kecuali Allah turunkan pula obatnya”.
Berat rasanya
aku melangkahkan kaki balik ke rumah, dan kemudian permisi ikut bergabung
kembali tadarussan di ruang tamu. Lagipula, aku yakin, aku mendapat hukuman
(sanksi) dari attaku karena kabur usai sholat magrib berjamaah tadi. Aku pun
bingung!
Tapi, aku
membatin, terus terang, aku malu yah Tuhan. Rutinitasku sholat berjamaah,
berdoa dan tadarassan saban magrib hingga usai sholat Isya, belum memberi efek
internalisasi dalam diriku. Aku belum memberi manfaat kepada banyak orang. Aku
takut dituduh Allah sebagai orang yang sombong karena tidak perduli kepada
mereka yang rentan, miskin, dan teraniaya, yang ada disekeliling rumahku.
Aku pun teringat
pada bunyi pesan surah al Ma’un, yang selalu dikutip Kiyai Dahlan, sang pendiri
Muhammadiyah di Yogyakarta,tatkala membengkali santri-santrinya dengan metode
pembelajaran (sorogan/halaqah)
dan model klasikal: “Tuhan mengancam terhadap
mereka yang tergolong mendustakan agama, yakni mereka yang menghardik anak yatim, tidak menolong fakir miskin, riya'dalam sholatnya, serta enggan menolong dengan
barang-barang yang berguna”.
Hari berganti
hari, sepanjang malam, ada pergolakan batin dalam diriku. Aku pun bergumam
protes, untuk apa kita sholat, puasa, naik haji, umroh berkali-kali, kalau ilmu
kita tidak bermanfaat pada banyak orang?. “Itu namnya merugi”.. Demikian juga,
untuk apa kita sekolah dengan titel yang berjubel, tapi tidak mampu memberi
jalan keluar bagi masyarakat. “Untuk apa? Untuk apa? Untuk apa?”, itulah
kalimat pemberontakaku di 3/4 malam yang hening jelang subuh di suatu hari.
Tidak terasa,
selang beberapa tahun berikutnya, terdengar kabar, daeng Ba’du telah diajak oleh
Tuhannya untuk bertemu dalam alam kesejatian. Daeng Ba’du tampaknya memaksa
takdir dan kehendak Tuhan,.akhirnya, aku pun membuat goresan kalimat untuknya
dengan tetesan tangisan pilu, yang rasanya sulit kuterima dalam fakta. Inilah
goresanku:
Sahabatku Pergi
…!
Lukamu masih menganga dalam nuraniku. Sembilu
itu tak lekang di telan masa. Guratan wajahmu masih tertusuk tajam dalam
memoriku. Bayangan keceriaanmu masih menjuntai di pelupuk bulu mataku. Sorotan
matamu, meniscayakan ingatanku kugiring untuk selalu berontak. Berontak atas
nasibmu. Berontak atas ketidakadilan yang kerap menjadi sahabat karibmu.
Pagi itu, kau begitu ceria, bercanda,
bergurau dalam kerasnya roda waktu. Seolah rasa damai lekat dihatimu. Seolah
kebahagiaan adalah milikmu. Seolah beban hidupmu tidak menggelayut sedikitpun
ada noktah. Tapi, aku yakin, rautan wajahmu itu tidak seindah keceriaanmu. Ada
beban yang kau tutup rapat-rapat. Ada bau anyir yang kau endapkan dalam beban
hidupmu. Kumembatin, kau hidup dalam dua dunia.
Petang itu, terhirup kabar dari sekawanan
burung elang yang mengepakkan sayapnya di atas nyiur melambai. Sementara, di
pelataran jalan tampak sepi. Canda dan gurau tertelan dalam keheningan. Para
pengayuh
becak yang kerap ceria
menghampiri depan halaman rumahku, menghilang bagai di telan bumi. Tiba-tiba
tersiar kabar dari seberang mushola reot, berita yang tak mengenakkan hati. Ibarat di sambar petir di siang
bolong, aku tidak sanggup menerima kabar itu.
Sahabatku, daeng Ba’du, pergi untuk selamanya ke dunia lain, tanpa pamit menggenggam dua dunia yang kontras.
Hidupnya yang keras dalam kayuh penarik
becak, terlilit beban. Beban struktural. Beban ketidakadilan. Beban utang,
beban lintah darat, beban kemiskinan.
Daeng Ba’du, menjuntai di atas langit-langit rumah manzil
yang sepi, yang hanya diintip seekor kelelawar.
Ia “memaksa” Tuhan untuk segera meminangnya.
Ia “memaksa” sang takdir segera mendekap dirinya. Ia hirau dalam hitungan
sunatullah.
Sahabatku, kau pergi dalam kesunyianmu. Pergi
di tengah ketidakperdulian kita. Pergi tatkala “keadilan sosial” menjadi barang
dagangan. Pergi ketika rajutan cinta kemanusiaan hanyalah retorika hidup.
Sahabatku, selamat jalan...selamat jalan…Tersenyum indahlah di hadapan
kekasih-Mu.
Surakarta, 19 Mei 2015
Mukhaer Pakkanna